Mata kiri
gua lagi kesakitan. Bengkak menutupi kelopak bagian bawah dan mengubah garis
mata bagian jadi lebih lekuk serta lebih tidak enak ditampakkan. Jika gue ingin
memakai teori tidak logis, mungkin ini merupakan karma akan banyaknya hal buruk
yang gue lihat selama ini. Melihat hal-hal yang bukan hak gue, melihat hal yang
dilarang moral agama, melihat kekecewaan orang-orang di sekitar. Lu sadar lu brengsek ketika lu mendapat keburukan dan lu
menerimanya sebagai sesuatu yang pantas melekat di diri lu. Dan ya gue sadar.
Sakit mata
yang sekarang gue alamin sudah terlalu lama hingga bukan hanya fisiknya yang
diserang tetapi juga jiwa dari mata itu sendiri. Jiwa mata yang selama ini
tenteram menjalankan takdirnya terusik keegoisan dan kemunafikan mamalia
bernama Ukasyah NH. Cahaya pertama yang diteruskan lensa sudah bercampur aduk
dengan kegelapan pandangan sang tuan. Tidak ada sel batang atau kerucut, yang
ada hanya rasa takut yang lapuk menyepi di tepi retina. Seburuk itu hingga
saraf mata pun memberikan informasi palsu yang tidak sesuai dengan cahaya
pertama.
Air hangat yang
menyeruput di setiap pori mata bertugas dengan berani memastikan sang tuan
meilhat kebejatan dia yang selama ini dia lakukan. Rasanya seperti dipeluk ibu
yang kecewa akan moralitas sang anak dan sahabat yang hanya berdiri menjauh
mengucapkan aksara-aksara klise. Gue sendiri gatau berapa suhu yang bermukim di
cawan ini tapi gue yakin suhunya cukup untuk melarutkan gumpalan penyesalan
yang sudah membengkak di pelupuk mata.
Menyesali penyesalan
yang seharusnya lu sesalkan dari dulu adalah tindakan bodoh yang banyak
dilakukan remaja seumuran gue. Kasian alat indra yang cuma bisa bungkam dan
kecewa saat sang tuan secara balada mempermainkan hati banyak orang. Percakapan
kekecewaan mereka beragam. Mulai dari kulit yang curhat tentang seringnya dia terpapar sentuhan dosa. Telinga
yang mengaku menangkap nada-nada kongkalikong dan mulut yang mengecap kegetiran hati
sang tuan. Diantara mereka, mata hanya bisa duduk diam di diruangannya tanpa
mau diajak bercerita soal pengalamannya dengan sang tuan. Mata belajar dari si
tuan itu sendiri bahwa menulis adalah jalan dari puncak menyalurkan pedih dalam
jiwanya. Dari situ mata mulai menulis angan-angan sang tuan akan bahagia melihat
setiap hal. Angan-angan itu sendiri yang justru merusak jiwa dan berpengauh
kepada fisik mata itu sendiri. Mata tetap bahagia dalam anganannya dan sang
tuan menikmati setiap pijakan anganan tersebut. Argumen yang dipakai sang tuan
untuk mengelak adalah kondisi remaja kebanyakan yang juga mengalami setiap
pijakan itu.
Abaikan saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar